Tuesday, February 11, 2020

Alasan di Balik Susahnya Mengatakan “Tidak”


“Senin besok ada waktu luang, nggak? Temenin nonton film, dong.”

Kurang lebih begitu isi DM Instagram dari salah satu teman saya suatu hari.

“Duh, gimana nih, mana deadline numpuknya di hari Senin semua... Eh, sisa duit bulan ini cukup nggak ya, buat nonton? Pulang-pergi ke mall naik Go-jek pasti lumayan mehong, belum lagi buat makan siang. Nggak boleh, kita nggak boleh pergi n-o-n-t-o-n, TITIK!

Dan, kurang lebih begitu isi kepala saya, mencoba sekuat tenaga meyakinkan diri bahwa tawaran tersebut dengan mutlak harus ditolak demi kesejahteraan finansial bersama, wahai Saudara-saudara sekalian yang saya hormati (ehem).

Sayangnya, isi hati saya justru mengatakan yang sebaliknya ... yang berakhir dengan, alih-alih merasa senang bisa menyaksikan akting keren dari para aktor kelas wahid kenamaan Hollywood, saya malah merasa lelah – ralat – kepayahan luar biasa gara-gara seenak udel mengiyakan ajakan teman yang saya tahu nggak bakal saya sukai konsekwensinya.

Kalau sudah begini, siapa yang mau disalahkan? πŸ˜•

Anehnya, meski begitu saya belum juga kapok dengan kecenderungan saya menjadi “yes-manwoman” buat orang lain!

Ada teman yang butuh bantuan menerjemahkan abstrak jurnal artikel?

“Bisa kok, kirim sekarang lewat email, ya!” nyatanya di saat yang bersamaan saya sedang riweh berkutat dengan hal lain.

Klien minta file dirampungkan tiga jam lebih awal dari jadwal deadline yang sudah disepakati?

“B-baik, Kak, sebentar lagi juga selesai kok proyeknya,” padahal jelas-jelas yang baru dirampungkan sekadar judulnya saja, amboi!

Saya jadi heran bukan kepalang. Kenapa susah banget, sih, bilang “enggak”?

Ayo, coba dijelaskan, apa susahnya menolak permintaan orang lain yang ujung-ujungnya malah merepotkan diri sendiri, hmm?

1. Khawatir mengecewakan perasaan orang lain

Apalagi kalau itu berkaitan dengan teman-teman karib, saya selalu nggak tega menolak permintaan mereka, hiks!


Here we go again...

Meskipun akhir-akhir ini saya jadi bisa sedikit lebih “tegas” untuk nggak gampangan dalam mengiyakan ajakan teman-teman saya, masih saja saya beranggapan bahwa mungkin mereka akan kecewa dan berpemikiran buruk jika mendengar saya berkata “tidak”.

“Ngakunya temen, tapi gitu aja nggak bisa bantu!”
“Sombong banget, sih, tiap diajak ketemuan nggak pernah mau.”

Lebih buruk lagi kalau itu adalah permintaan yang mendesak dan datangnya dari orang-orang terdekat, seperti anggota keluarga, misalnya. Belum lagi jika mereka “menyuruh” saya melakukan sesuatu saat kondisi badan dan pikiran saya sedang sama-sama kacaunya. Duh, pasti bawaannya pengin marah-marah melulu! πŸ˜ˆ

Kalau sudah begini, saya pun jadi setengah hati menolong mereka.

Akhirnya? Kualitas dari tindakan saya nggak optimal, dan itu bisa jadi satu faktor lainnya mengapa menurut saya mereka pantas untuk kecewa.

2. Takut dianggap tidak kompeten

Untuk alasan kedua, sepertinya lebih tepat jika ditujukan kepada para klien saya.

Menyangkut soal hubungan profesional, saya berpendapat wajar saja apabila para klien saya mengharapkan outcome yang maksimal dari pekerjaan saya.

Itu pun sejalan dengan harapan saya terhadap mereka yang akan memberikan saya upah yang ekuivalen dengan kualitas output saya – walaupun pada kenyataannya, realita nggak selalu berjalan beriringan dengan ekspektasi, Gaes!


Aku tuh nggak bisa diginiin, Bang.

Selalu ingin dicap ‘mumpuni’, alhasil saya acapkali memforsir tenaga saya untuk memenuhi harapan-harapan klien. Contohnya, ya, skenario deadline maju di atas.

Proyek memang tuntas lebih awal, para klien juga puas karena kemauannya terpenuhi.

Lantas, bagaimana dengan saya yang telah bersusah-payah menuruti keinginan yang berbanding terbalik dengan kesanggupan saya tersebut?

Memang, ora apik kalau selalu mengharapkan timbal balik dari tiap hubungan antar-manusia, tapi sebagai wong biasa saya nggak bisa luput dari kecenderungan itu.

Begitu harapan saya nggak terwujud, saya juga bisa merasakan kecewa. Untuk kasus yang satu ini, saya beranggapan bolehlah-dapat-bonus-tambahan-sedikit sebagai imbalan untuk tenaga ekstra yang sudah saya kerahkan.

Faktanya? Sometimes they care about it, but sometimes they don’t.

Eh, tapi bukan berarti saya 24/7 bekerja dengan pamrih, lho! Hanya “terkadang”, bukankah menyenangkan kalau usaha ekstra kita diapresiasi lebih? πŸ˜€

3. Pengaruh fear of missing out (FOMO)

Sebagian besar orang-orang di sekitar saya doyan banget melahap seri-seri Harry Potter (yang entah sudah mencapai musim ke berapa sekarang πŸ˜‘), sedangkan saya lebih suka nonton Chibi Maruko-chan atau Spongebob Squarepants sambil rebahan di rumah.


Hal yang menyenangkan hati, banyak sekali bahkan kalau kita bermimpi πŸŽΆ

Pun kebalikannya, sebagian dari mereka bukan penggemar buku-buku self-improvement, sementara saya sangat fanatik dengan segala media yang membahas tentang hal serupa.

Mencari titik temunya susah, kecuali salah satu pihak mengalah.

Pun, pihak yang mengalah biasanya adalah orang-orang dari golongan minoritas ('tul nggak?).

Karena mayoritas rekan-rekan saya pecinta budaya pop, nggak jarang saya pura-pura mengaku sebagai avid listener dari lagu-lagunya Ed Sheeran atau penonton setia film-film besutan Marvel (yang jujur sampai hari ini cuma “Thinking Out Loud” saja yang saya tahu, dan faktanya saya nggak begitu ngeh dengan cerita-cerita pahlawan super πŸ™).

Saya akui saya takut dicap nggak gaul, kuper, “mainnya kurang jauh”, dan label-label kurang mengenakkan lainnya. Semisal teman-teman saya benar-benar beranggapan begitu tentang saya, di benak saya terbayang mereka yang lelah berteman dengan si cupu ini.

Ciyus, ngeri banget kalau benaran dianggap begitu!

Final note

Mungkin masih ada banyak alasan lainnya di balik keengganan kita buat menolak permohonan orang lain, dan ketiga poin di atas hanyalah secuil yang mampu terpikirkan oleh saya: secuil namun sudah cukup menguras tenaga dan emosi! πŸ”₯

Saya penasaran dengan pendapat kamu: kira-kira pada situasi apa dan mengapa kamu susah mengatakan “tidak” ke orang lain?


Photo by Retha Ferguson from Pexels
GIF by Giphy

2 comments:

  1. Memang susah bilang tidak. Tapi penting loh untuk belajar bilang tidak. Demi kebaikan kita juga tentunya.

    ReplyDelete
  2. Saya cuma bilang Iya selalu keatasan aja mbak, haha.. kalau disuruh ini itu, jawabnya Siaap Ndan.. ala-ala semi militer. Bisa atau ga, yang penting siap dulu,

    kalau di kehidupan lainnya saya sering nolak kalo memang ga bisa. malah terang2an bilang lagi mager dan pengen rebahan hihi

    ReplyDelete

Pssst: menulis komentar yang bijak dan enggak mengandung unsur SARA itu keren, lho. Cobain, deh.

Artikel Terkait